Akibat pandemi, praktis anggaran belanja desa pada 2020 tidak bergerak leluasa. Programnya sekadar memberi ‘ikan’ daripada ‘kail’ pada masyarakat. Maklum pandemi telah meluluhlantakkan pendapatan masyarakat bawah. Anggaran yang bersumber dari Dana Desa banyak tersedot untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Bantuan ini bergulir mulai termin satu, yaitu April, Mei dan Juni sebesar Rp 600.000 per keluarga penerima manfaat (KPM).
Bagi desa yang masih mempunyai anggaran, program berlanjut pada termin dua, yaitu Juli, Agustus dan September namun hanya Rp 300.000 per KPM. Kalau pun masih tersisa anggaran, berlanjut lagi pada Oktober, November, dan Desember. Ke depan, apakah akan seperti itu terus?
Peraturan Menteri Desa PDT Transmigrasi (Permendesa) No. 13 tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021 pada Pasal 6 ayat 1 memberi rambu-rambu bagi desa agar ikut serta dalam pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa. Ini difokuskan pada revitalisasi Bumdesa/Bumdesma, penyediaan listrik desa, dan pengembangan usaha ekonomi produktif yang diutamakan dikelola Bumdesa. Dalam Pasal 6 ayat 3, penggunaan Dana Desa digunakan untuk adaptasi kebiasaan baru desa dengan mewujudkan desa aman Covid-19 dan mewujudkan desa tanpa kemiskinan melalui BLT Dana Desa.
Berdasarkan Permendesa tersebut, pada 2021 desa harus sudah beraksi (tidak sekadar berpikir) memberi ‘kail’ untuk masyarakat walaupun masih terbuka celah adanya program memberi ‘ikan’ melalui BLT Dana Desa. Nah, program memberi ‘kail’ ini sebenarnya bisa disalurkan melalui anggaran bidang pemberdayaan. Ini sesuai Permendagri 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa pasal 16 bahwa klasifikasi belanja di desa ada lima bidang, antara lain penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana, keadaan darurat dan mendesak desa.
Dengan memperkuat anggaran pemberdayaan baik melalui kegiatan pelatihan masyarakat, fasilitasi kegiatan kelompok tani, pendampingan Bumdesa, pengembangan Usaha Mikro dan lainnya, bisa menggerakkan sektor riil sehingga bisa turut menggeliatkan ekonomi masyarakat.
Tidak hanya itu, dengan pemberdayaan masyarakat merupakan investasi SDM di desa sehingga bisa menangkap segala peluang usaha. Contoh yang ada di Pelatihan Bumdesa. Salah satu materinya adalah identifikasi kebutuhan, potensi, dan aset desa. Tentu ini bisa menambah pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa dalam perencanaan bisnis.
Sayangnya belum semua desa punya komitmen pada anggaran pemberdayaan. D desa saya pun demikian. Alokasi anggaran belanja 2021 untuk bidang pemberdayaan cukup kecil persentasenya. Alokasi anggaran belanjanya dipimpin oleh bidang penyelenggaraan pemerintahan (44,0%), disusul bidang pembangunan (38,8%), bidang pembinaan kemasyarakatan (10,6%), bidang pemberdayaan (4,6%) dan bidang penanggulangan bencana dan mendesak desa (2,0%).
Bidang penyelenggaraan terlihat besar karena adanya penghasilan tetap aparatur desa yang sudah ada regulasinya. Dengan melihat data ini, bidang pemberdayaan seolah menjadi anak tiri yang kurang perhatian.
Tren tersebut tidak dijumpai satu desa saja. Tidak sedikit pula desa yang lebih berorientasi pada anggaran pembangunan (fisik) desa daripada pemberdayaan. Pembuatan rabat beton, pengerasan jalan, pembuatan talud, pembenahan saluran irigasi merupakan contoh program idola yang biasa dilakukan desa untuk menyerap anggaran.